Part 1: Pendakian Papandayan

Bulan Maret kemarin, ketika aku masih mengikuti diklat, tiba-tiba temanku Aulia mengirimkan pesan yang isinya menawari untuk ikut trip pendakian Papandayan. Aku membaca pesan itu antara percaya dan tidak percaya karena selama ini Aul lebih sering menolak ajakan untuk naik gunung dibanding mengiyakan. Bagi Aul, untuk apa susah-susah mendaki ketika bisa menikmati udara dan angin laut di pantai. Aul sendiri menjelaskan jika kali ini dia bersedia ikut karena setelah dia mencari info, Papandayan merupakan gunung yang paling mudah didaki sehingga ramah bagi pendaki pemula, bahkan bagi orang yang baru pertama kali mendaki gunung. Akhirnya dimasukkanlah aku ke grup WA teman-teman se-Direktoratnya. Awalnya sih ada banyak yang berencana ikut, tapi entah kenapa menjelang keputusan final siapa saja yang akan berangkat ternyata cuma tersisa 5 orang -aku, Aulia, Ucup, mas Yogi dan mas Imam-.

Sebagai persiapan, Aul berencana untuk membeli perlengkapan ketika weekend nanti. Karenanya demi naik gunung ini aku menyempatkan pulang ke Jakarta dari asrama di Bintaro. Kami janjian bertemu di kantor hari sabtu sore. Dari kantor kami berangkat bertiga dengan mas Yogi, kemudian di tengah jalan menjemput Ucup untuk menemani. Tidak berapa lama sampailah kami di sebuah toko outdoor di daerah Rawamangun. Ini sih sepertinya memang toko rujukan para anak gunung, soalnya bukan cuma mas Yogi saja sih yang sering kesini. Baiklah, mengingat kami akan menginap di Papandayan, maka yang kami -aku dan Aul- butuhkan adalah matras dan sleeping bag. Sebenarnya sih awalnya tidak terlalu lama memilih, tetapi begitu melihat deretan sepatu olahraga yang dipajang aku jadi ingin beli sepatu lari juga. Bingung memutuskan mau beli apa kaga, sampe si cowok-cowok belingsatan ga sabar, akhirnya kuputuskan buat beli. Mas Yogi komentarnya cuma “itu beli sepatu buat lari apa buat naik gunung besok mba?”. Kujawab saja “buat lari mas, aku mau merutinkan diriku untuk jogging lagi”. Mas Yogi sih bilang kalau untuk naik gunung, memang sepatu lari tidak terlalu cocok jika medannya berat. Berhubung kami belanja pake membernya mas Yogi, kita bisa dapat potongan 5%. Lumayan buat makan-makan. Habis itu karena kami pulang pas Magrib, kami mampir dulu sholat terus nyari makan. Awalnya sih becanda aja mau ntraktir cowok-cowok itu tapi melihat mereka sabar menunggu kami belanja, kami tidak tega menolak.

Nah, diklatku sendiri berakhir tanggal 17 Maret dan pendakian dilakukan tanggal 19-20 Maret. Tapi yang jadi kejutan adalah tanggal 18 aku dapat ‘tamu’ bulanan. Alhasil aku was-was tidak bisa ikut jika sakit bulananku kambuh. Pagi-pagi aku mulai merasakan perutku mulas dan benar saja rasa sakitnya semakin terasa begitu aku sampai di kantor. Oh iya, kebetulan hari itu hari pertama aku bertemu dengan atasan baruku, Pak Dony. Beliau sebelumnya bertugas di KPKNL Jakarta I, sementara atasan lamaku -Pak Rofiq- sekarang bertugas di KPKNL Malang. Hari pertama, Pak Dony mengajakku berbincang seputar masalah core bisnis institusi kami. Bapaknya sih secara lugas menyampaikan pendapatnya sambil mengajak diskusi. Dan akibat diskusi tersebut, somehow rasa sakit di perut yang tadi lumayan kurasakan mengganggu mulai tidak terasa. Sedikit beralih ke kepala sih, tapi ya biasa lah mendapat ilmu baru. Mungkin otakku masih belum siap mencernanya. Dan Alhamdulillah sampai pulang rasa sakit di perut tidak muncul lagi.

Sampai di kos aku langsung packing karena kami janjian berangkat dari kantor pukul 21.00 WIB sementara aku masih belum siap-siap sama sekali. Untungnya sehabis mandi aku ditelpon Aulia. Dia memberi tahu supaya aku tidak usah datang ke kantor karena mereka yang akan menjemput aku di jalan dekat kos. Alhamdulillah, rejeki anak baik. Tidak terlalu lama menunggu mereka sampai dan eng ing eng ternyata yang berangkat cuma ber-4 karena Ucup tidak enak badan sehingga dia batal ikut. Padahal Ucup yang membuat seisi KND tahu bahwa kami akan pergi ke Papandayan.

Rencananya kami ke Garut naik bis dari Pasar Rebo sesuai saran dari Githa. Nah kami ke Pasar Rebo naik Uber, terus mampir dulu ke kos mas Yogi buat mengambil perlengkapan mas Yogi (buset perlengkapannya mas Yogi banyak plus gede). Yang jelas kalo aku sama Aul bawaannya setipe lah, keperluan sehari-hari, plus matras. Mas Imam bawa satu keril gede, sementara mas Yogi bawa keril gede, drybag yang isinya ransum kami selama perjalanan plus tas kamera. Daebak bin Dahsyat!

DSCF1049
Menghidupkan ekonomi kerakyatan

Kami sampai Pasar Rebo sudah menjelang jam 11 malam. Agenda setelahnya kami makan dulu, kemudian diteruskan dengan mencari bis jurusan Garut. Sesaat sebelum berangkat kami sempatkan untuk memajukan ekonomi kerakyatan dengan membeli buah di pinggir jalan. Sipp lah pokoknya. Nah, begitu bis mulai berjalan aku langsung memutuskan untuk tidur karena memang aku sudah mengantuk. Sesaat sebelum sampai, aku terbangun dan tak lama kemudian sampailah kami di terminal Garut. Saat itu masih dini hari tapi stasiunnya sendiri sudah cukup ramai. Rata-rata kebanyakan dari mereka ternyata pendaki juga dengan tas-tas keril mereka yang besar-besar. Maklum saja, Garut memang punya banyak gunung untuk didaki. Kata mas Imam kalau disingkat tujuan utama pendaki di Garut itu Paguci -Papandayan, Guntur, Cikuray-. Karena masih dini hari, kami memutuskan untuk duduk-duduk dulu di sebuah warung yang masih buka. Kebetulan saat itu ada tiga ABeGe yang juga sedang menikmati kopi dan mie rebusnya.

Setelah dirasa cukup istirahat, kami memutuskan untuk segera masuk ke angkot yang akan mengantar kami ke tujuan selanjutnya, daerah Cisurupan. Setelah tas kami diikat di atas, ternyata karena angkot kekurangan penumpang, kami dioper ke angkot sebelah dan bertemulah kami dengan teman perjalanan kami selanjutnya, sebut saja mereka Furqon and Friends. Mereka bertiga dari Jakarta dengan tujuan ke Papandayan juga. Untungnya setelah itu tidak ada acara oper-operan lagi dan perjalanan kami pun dimulai kembali. Karena masih mengantuk, sepanjang perjalanan aku tertidur kembali. Sekitar jam 06.00 sampailah kami di Pasar Cisurupan. Berikutnya perjalanan masih dilanjutkan dengan menyewa pickup hingga ke Camp David.

DSCF1061 (1)
Pasar Cisurupan

Tapi sebelum memulai perjalanan, terlebih dahulu kami memutuskan untuk menjelajah pasar mencari sarapan. Namun berhubung beban yang kami bawa berat, akhirnya kami mengurungkan niat tersebut dan memutuskan memesan nasi kuning di pinggir jalan sebagai menu sarapan kami hari itu. Seusai sarapan, kami memutuskan mencari kendaraan yang akan membawa kami ke Camp David. Dasar rejeki ya, ternyata begitu kami sampai di sana ada bapak-bapak yang menawarkan mengantarkan kami ke Camp David dengan mobilnya. Ongkosnya sih cuma beda 5ribu dari ongkos naik pick up jadi tanpa ragu kamu langsung cuss naik ke mobilnya. Kami serombongan lagi dengan rombongan Furqon. Sebelum mengantarkan kami, si Bapak yang biasa dipanggil pak Haji mampir dulu ke rumahnya untuk mengantarkan sarapan buat sang istri.

Akhirnya berangkatlah kami ke Camp David ber-7 dan tak lama kemudian sampailah kami di Camp David. Setelah mendaftar, kami diberi form izin mendaki dan denah pendakian. Dari situ, kami dan rombongan Furqon memutuskan untuk berpisah dan menempuh jalan masing-masing. Tsaahhh. Ya begitulah adanya. Dan secara resmi pendakian kami dimulai. Trek awal berupa jalanan naik dengan dasar batu-batu, tapi dari situ kami bisa melihat trek selanjutnya yang berupa jalanan kapur karena memang banyak kawah. Mengingat aku dan Aul adalah amatiran, mas Yogi dan mas Imam berbaik hati menyesuaikan ritme mereka dengan kami. Mereka memaklumi ketika sebentar-sebentar aku dan Aul memutuskan untuk duduk dan beristirahat sambil mengabadikan gambar dengan cara berfoto, entah foto pemandangan, melakukan selfie atau wefie. Sayangnya kameraku hilang dan aku belum sempat membeli kamera baru sementara kamera hapeku tidak cukup baik, tapi semua bisa teratasi karena mas Yogi membawa jscam dan kamera konvensional.

DSCF1072
Camp David, pos awal pendakian Papandayan
DSCF1094
Pos Pertama

Tak lama setelah trek kapur itu kami sampai di pos pertama, dan di sana ada petunjuk arah ke Hoeberhoed, Hutan Mati dan tempat-tempat lain. Setelah melewati pos itu, jalan yang kami lalui adalah jalan datar seperti tebing, kemudian sempat turun melewati semak-semak dan menyeberangi sungai. Mulailah jalan menanjak lagi hingga nanti kami sampai di pos kedua. Nah di pos kedua ini ada bapak yang mendata setiap pendaki yang datang. Mas Yogi sempat menanyakan tempat mendirikan tenda ada di daerah mana. Si Abah memberikan 2 pilihan, antara Hoeberhoed dan Pondok Seladah. Jika ingin menikmati sunrise, akan lebih baik jika menginap di Hoeberhoed. Karena mas Yogi juga belum pernah ke Papandayan, dia memutuskan untuk terlebih dahulu melakukan survey lokasi ke Hoeberhoed. Kami bertiga tetap menunggu di pos. Tidak berapa lama kemudian, mas Yogi kembali dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pondok Seladah. Nah jalan ke Pondok Seladah itu sempit dan mendaki sedikit curam. Tidak terlalu lama berjalan sampailah kami di Pondok Seladah, sebuah ruang terbuka yang menjadi pilihan kami untuk mendirikan tenda. Begitu memilih lokasi, mas Yogi dan mas Imam langsung mendirikan tenda sementara aku dan Aul hanya bisa melihat sambil memfoto-foto karena kami tidak tahu bagaimana caranya membantu. Tak berapa lama kemudian jadilah tenda kami.

Karena lelah yang teramat sangat, begitu tenda berdiri, aku segera membongkar barang bawaan dan memasang matras serta mencoba sleeping bag. Rasanya duh nikmat banget. Mas Yogi memasak mie sebagai menu makan siang kami. Kok bukan aku atau aul yang masak? Itulah kegagalan kami sebagai wanita. Sementara aul bersih-bersih di toilet, aku langsung menikmati mie rebus hangat buatan mas Yogi. Ya Allah, nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan? Tak berapa lama kemudian aku mulai pasang badan di sleeping bag dan hujan turun kemudian. Saat itu Aul masih terjebak di musholla ketika tiba-tiba hujan turun deras sehingga mas Yogi menjemputnya. Ohh so suitt.

Begitu kembali ke tenda, Aul segera menyantap mienya dan setelah itu kami memutuskan untuk segera tidur karena hujan yang turun deras sekali, tidak ada aktifitas yang bisa kami lakukan yang lebih menarik dibandingkan meringkuk di dalam sleeping bag kami masing-masing.

to be continued

 

Tinggalkan komentar